Ada pengabdian dibalik usaha balik Modal Dokter


“Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikekemanusiaan; Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang berhormat dan berasusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya; Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran…”
            Petikan ini menggetarkan hati siapa saja yang membacanya. Ini bukan hanya sebuah kalimat yang dibaca, melainkan janji yang diucapkan. Janji dokter yang diucapkan sebagai awal untuk mengabdi kepada bangsa dan Negara. Sumpah profesi yang merupakan janji untuk melaksanakan tugas mulia.

            Bukan suatu yang mudah untuk akhirnya bisa mengucapkan sumpah dokter. Tidak ada yang mudah selama menempuh pendidikan untuk menjadi dokter. Menjadi dokter merupakan cita-cita besar yang sering diucapkan anak-anak berusia empat-lima tahun. Begitu tidak mudahnya hingga dari sekian banyak anak-anak yang bercita-cita menjadi dokter, hanya satu-dua orang yang bisa menggapainya. Sungguh profesi yang luar biasa.
            Untuk menjadi dokter, pendidikan terbaik harus dipersiapkan sejak dini. Diperlukan otak yang pintar, cerdas dan keuletan tinggi. Daya saing yang tinggi antar rekan sejawat membuat persaningan kian sengit.
            Mempersiapkan pendidikan terbaik memang tidak mudah. Apalagi pendidikan terbaik itu berbanding lurus dengan harga yang harus dibayar. Ada harga yang mahal untuk menggapai profesi mulia tersebut. Jutaan, puluhan juta, hingga ratusan juta dikorbankan
Waktu
            Untuk menjadi seorang dokter harus menempuh waktu yang lebih lama disbanding pendidikan profesi lain. Lulus sarjana, profesi kedokteran tidak bisa langsung bekerja sebagai dokter. Mereka harus menempuh waktu sekitar dua tahun lagi untuk mendapat izin praktek. Waktu adalah uang, dan dua tahun bukanlah waktu yang singkat.
Biaya Pendidikan
            Bukan lagi rahasia bahwa biaya pendidikan menjadi dokter sangat mahal. Banyaknya praktek mempengaruhi mengapa biaya pendidikan menjadi dokter begitu mahal, mengingat alat-alat yang diperlukan untuk praktek beragam macamnya dengan jumlah yang banyak.
            DIbalik sumpah yang diucapkan dengan ketulusan, janji yang ditanam dalam hati, terdapat harga yang sangat mahal untuk menggapai itu. Tenaga, pikiran, dan uang terkuras demi sebuah profesi yang memilik gelar, dokter. Bukan hanya sekedar uang yang digelontorkan, waktu, tenaga, dan pikiran. Semua itu adalah paket lengkap dengan harga yang super mahal untuk menjadi dokter.
            Lalu, apa yang dituju ketika sudah mengangkat sumpah? Terus menjalankan profesi mulia berbalut ketulusan? Mengedepankan pengabdian tanpa mengharapkan balasan? Lalu, apa balasan dari mereka yang menggunakan jasa dokter? Apakah terimakasih saja sudah cukup? Membayar dengan seiklasnya atau dengan semampunya?
            Saat ini banyak dijumpai tarif dokter berkisar puluhan ribu hingga ratusan ribu. Bertambah hingga berkali-kali lipat untuk dokter yang memiliki gelar spesialis. Mayoritas masyarakat yang berkonomi menengah kebawah menjerit. Mereka membutuhkan jasa dokter ahli namun tarif yang dipatok dirasa cukup mahal.
Tarif yang dipatok sesuai dengan keahlian dokter, banyak orang yang tidak segan mengeluarkan uang lebih untuk tarif yang mahal karena dokter tersebut dirasa handal dan mampu menolognya dari penyakit. Semakin tinggi pendidikan dokter tersebut, semakin mahal pula tarifnya. Namun keahliannya pun semakin tinggi pula.
Seorang dokter favorit, bisa melayani puluhan hingga ratusan pasien tiap harinya hanya dalam kurun waktu empat jam praktek. Ratusan pasien dikali dengan tarif ratusan ribu maka akan menghasilkan puluhan juta sebagai pendapatan dokter tersebut. Angka yang sangat besar, ketika menghasilkan puluhan juta hanya dalam beberapa jam.
Profesi dokter dinilai banyak orang sebagai profesi yang menghasilkan uang dengan cepat. Kemudian munculah sebuah paradigma bahwa kin dokter bekerja berorientasi pada uang. Dokter berlomba-lomba mengumpulkan pasien hingga banyak jumlahnya agar semakin banyak pundi-pundi yang terkumpul. Semakin tinggi gelar dokter, semakin tinggi tarifnya. Semakin banyak uang yang dikeluarkan dokter untuk pendidikan, maka semakin tinggi pula tarifnya.
            Pasien berpikir bahwa dokter tidak perlu mematok tarif, karena pekerjaannya adalah menolong orang atas penyakitnya. Disatu sisi, dokter berhak atas tarif tersebut untuk menebus modal yang dikeluarkan untuk pendidikan, bahwa tarif adalah patokan seberapa handalnya seorang dokter.
Tarif bukan hanya untuk keuntungan dokter, ini juga merupaka sumber keuntungan untuk rumah sakit tempat dokter bekerja. Dokter bukan berarti tidak memahami hal tersebut. Ada dokter yang paham, ia menyesuaikan tarif sesuai dengan kondisi pasiennya. Ia mematok tarif mahal jika praktek di Rumah Sakit Swasta, kemudian mematok tarif murah jika praktek di Rumah Sakit Negeri.
Memang banyak sekali paradigma mengenai tarif dokter yang dinilai menjadi usaha balik modal. Paradigma ini muncul ketika sebuah profesi mulia diartikan sebagai kegiatan menolong, menolong tanpa pamrih. Profesi mulia bukan berarti melakukan pekerjaan menolong tanpa disertai imbalan. Bahkan dokter sebelum bisa menolong orang, harus mengeluarkan modal yang tidak sedikit.
Apapun itu, pekerjaannya tetaplah sebuah pengabdian. Jasanya dan etikanya menjaga catatan medis pasien sebagai sebuah rahasia rahasia, cukuplah itu menjadi sebuah pengabdian. Tetap ada niat dari lubuk hatinya untuk menolong orang. Bagaimanapun dokter adalah sebuah profesi, sebuah pekerjaan untuk mencari nafkah. Apapun tujuannya untuk usaha balik modal, niat mereka tetap untuk mengabdi pada yang membutuhkan.
             

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Percakapan Bahasa Jepang

Nilai, Sikap dan Perilaku Organisasi